LPM KENTINGAN UNS SOLO

March 15, 2014

Dies Natalis ke-38 UNS: dimanfaatkan sebagai ajang kampanye

Filed under: tulisan harian — lpmkentingan @ 6:32 am

2014-03-11 10.00.08

Surakarta – Peringatan Dies Natalis Universitas Sebelas Maret (UNS) ke-38 diwarnai dengan berbagai event yang diikuti oleh para civitas akademika, salah satunya dengan diselenggarakannya Pameran Ilmiah dan Seni yang digelar di halaman gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Acara tersebut digelar sejak hari Senin (10/3) hingga Rabu (12/3) dengan menampilkan karya-karya dari semua fakultas serta lembaga yang ada di UNS. Lomba fotografi dan band antar fakultas pun ikut menyemarakkan acara Pameran Ilmiah dan Seni kali ini. Selain itu, juga ada perform dari berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Tepat di depan gedung LPPM, berjejer stand-stand dari berbagai fakultas, terdapat pula stand jajanan yang ada di samping gedung LPPM tersebut. Acara yang digelar selama tiga hari itu diharapkan bisa lebih memperkenalkan UNS ke lingkungan sekitar, tetapi hal tersebut kurang mendapat apresiasi dari mahasiswa. Terlihat sepinya pengunjung yang datang dalam pameran dan hanya pihak-pihak tertentu yang nampak ikut meramaikannya.

Dalam acara Dies Natalis ke-38 UNS, terlihat sedikit berbeda dengan adanya pihak dari luar yang hadir di tengah-tengah pengunjung dan hal tersebut sedikit mengundang perhatian. Pihak yang dengan sengaja memanfaatkan moment Dies Natalis sebagai ajang berkampanye secara tersirat ini menyebarkan brosur-brosur berisikan foto salah seorang calon legislatif dari salah satu partai. Dengan alih-alih hanya ingin memperkenalkan kepada mahasiswa, tanpa ada unsur kampanye. Tak heran, karena pesta demokrasi terbesar di negeri ini akan segera hadir dan berbagai pihak yang ikut andil pun akan melakukan berbagai cara untuk dapat menyuarakan partai serta calonnya. Namun, hal tersebut sangat disayangkan karena tidak seharusnya dalam acara Dies Natalis terselip sebuah “kampanye”. (RK)

June 14, 2009

Menyusuri Sebab Ekonomi Dari Buruknya Kualitas Transportasi Umum Di Solo

Filed under: tulisan harian — lpmkentingan @ 4:32 am

Kualitas transportasi publik perkotaan di Indonesia dinilai masih rendah. Permasalahan ini mengemuka karena terdapat berbagai kelemahan yang menjadi sebab terpuruknya kualitas pelayanan transportasi publik perkotaan. Kelemahan tersebut utamanya terjadi dalam perencanaan operasionalisasi transportasi publik. Kelemahan perencanaan bisa dilihat dalam dua sisi yaitu kelemahan perencanaan secara teknis dan kelemahan perencanaan secara ekonomi.

Secara teknis, perencanaan operasional transportasi publik perkotaan belum komprehensif dan mendalam. Menurut Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (Selanjutnya disebut DLLAJ) perencanaan operasional transportasi publik perkotaan belum mencakup semua aspek-aspek yang terlibat di dalamnya seperti pola tata guna lahan, pola jaringan jalan, pola penyebaran penduduk, pola pergerakan, sistem operasi (rute/trayek) dan tingkat pelayanan. (DLLAJ Kota Surakarta, 2007: I-1). Akibatnya, alih-alih berfungsi sebagai solusi permasalahan lalu lintas kota, angkutan umum justru dianggap menjadi salah satu sumber permasalahan lalu lintas perkotaan.

Secara ekonomi, kelemahan perencanaan terjadi dalam estimasi biaya dan manfaat operasional perusahaan penyedia jasa transportasi, Indikator yang paling mudah dilihat dari kelemahan ini adalah perilaku penentuan tarif angkutan umum. Idealnya tarif tercipta dari tarik-menarik antara preferensi harga konsumen dengan pengerahan sumber daya secara optimal dari produsen hingga membentuk sebuah ekuiliribium harga. Namun dalam kasus angkutan umum, keadaan ideal tersebut tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena ada indikasi terjadinya kegagalan pasar dalam industri angkutan umum perkotaan. Bentuk dari kegagalan pasar dalam industri angkutan umum adalah bangun pasar industry angkutan umum yang tidak sempurna.

Meskipun angkutan umum merupakan jasa pelayanan publik, tetapi perilaku penentuan tarif jasa angkutan umum mengarah pada oligopoli yang kolusif. Dikatakan sebagai oligopoli yang kolusif karena pihak perusahaan melalui Organisasi Angkutan Daerah (Organda) melakukan kesepakatan mengenai tarif angkutan umum yang berlaku. Dalam keadaan ini perusahaan mendapatkan kekuatan monopoli dalam penentuan tarif. Akibatnya masyarakat menerima tarif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif saat ada persaingan yang lebih efektif antar perusahaan penyedia jasa transportasi umum perkotaan.

Struktur pasar yang memberi kekuatan monopoli kepada perusahaan penyedia jasa angkutan umum berdampak pula pada kualitas pelayanan jasa dalam industri angkutan umum. Dorongan untuk bersaing dalam bentuk perbaikan kualitas  antar perusahaan akan minim. Akibatnya perusahaan cenderung tidak memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada secara maksimal. Yang berarti kualitas pelayanan angkutan umum tidak bisa menjadi cerminan dari kemampuan maksimal produsen dalam menyediakan pelayanan jasa angkutan umum. Dalam Mangkusubroto, keadaan ini dikatakan sebagai keadaan dimana mekanisme harga tidak dapat berfungsi secara efisien dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi (Mangkusubroto,1998:27)

Penentuan tarif angkutan yang cenderung monopolistis serta kualitas pelayanan jasa angkutan umum yang statis dan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun membuat transportasi publik kehilangan daya tariknya di mata masyarakat perkotaan. Efek lanjutan dari angkutan umum yang semakin minim penumpang adalah pendapatan perusahaan dalam indusri transportasi publik menurun, dan investasi di sektor ini menjadi tidak menarik.

Kondisi tersebut diatas lumrah terjadi di kota-kota di Indonesia, termasuk di Kota Surakarta, dimana kualitas angkutan umumnya bisa dikatakan masih rendah. Angkutan umum perkotaan di Kota Surakarta dilayanani oleh tiga jenis moda angkutan yaitu bus kota, angkutan kota (selanjutnya disebut angkot), dan taksi. “Dari ketiga moda tersebut, bus kota merupakan trayek utama di dalam kota, sedangkan angkot merupakan trayek ranting (trayek dalam pemukiman) dan taksi merupakan trayek door to door. (DLLAJ Kota Surakarta, 2006: I-2)

Menurut Evaluasi Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Surakarta tahun 2006, bus kota di Surakarta melayani 22 trayek yang disediakan oleh 22 perusahaan otobus (selanjutnya disebut PO) dengan 19 PO yang masih aktif.  Jika hanya melihat pada banyaknya jumlah PO yang beroperasi di Surakarta, maka struktur pasar angkutan umum di Surakarta  tidak bisa serta merta diidentikan sebagai oligopoli. Tetapi ada dua karakteristik yang dimiliki industri angkutan umum di Surakarta yang menguatkan anggapan bahwa industry angkutan umum di Surakarta berada dalam pasar oligopoli.

Karakteristik pertama bisa dilihat dalam penentuan trayek, dimana PO diberi hak beroperasi di daerah tertentu. Walaupun hak operasional yang diberikan bukan hak ekslusif tetapi rintangan untuk masuk ke pasar cukup besar karena membutuhkan investasi yang besar, skala usaha yang sesuai, dan izin trayek dari Pemerintah Kota (Pemkot). Karakteristik ini mendekati karakteristik oligopoli kolusif berbentuk market sharing cartel. “Market sharing cartel merupakan kartel dimana anggota kartel diberi hak beroperasi di daerah tertentu.” (Soeharno, 2006:194)

Karakteristik kedua dapat dilihat dari perilaku penentuan tarif angkutan umum di Surakarta yang cenderung monopolistis, dimana PO melalui Organda berwenang menjadi pembuat harga (price maker) secara sepihak tanpa memperhatikan keseimbangan permintaan dan penawaran. Dengan demikian hal ini berakibat pada harga tarif yang relatif mahal dan minimnya persaingan antar PO. Efek lanjutannya PO tidak mengerahkan sumber daya yang dimilikinya secara optimal yang dalam kasus transportasi publik bisa dilihat dari pelayanan yang tidak maksimal.

Hasil evaluasi kinerja angkutan umum tahunan dari DLLAJ Kota Surakarta bisa dijadikan acuan dalam melihat seberapa besar ketidakmaksimalan pelayanan tersebut. Ada beberapa indikator yang biasa digunakan dalam evaluasi pelayanan angkutan umum perkotaan. Setiap Indikator digunakan sebagai alat ukur untuk menilai tingkat kinerja. Pengevaluasian dilakukan dengan cara membandingkan nilai indikator yang terjadi di lapangan dengan nilai indikator standar yang berlaku secara internasional.

Di kota Surakarta, indikator yang digunakan dalam menilai pelayanan angkutan umum adalah selisih waktu antar kendaraan (selanjutnya disebut headway),waktu tunggu penumpang, waktu tempuh, kecepatan, tingkat  keterisian (selanjutnya disebut load factor), dan frekuensi kendaraan per jam. Indikator-indikator ini akan dibandingkan dengan standar internasional. Standardisasi yang dipakai di Kota Surakarta adalah standar dari worldbank.

Tabel 1 Hasil Penilaian Indikator Angkutan Perkotaan Kota Surakarta Tahun 2006

Tabel 1 Hasil Penilaian Indikator Angkutan Perkotaan Kota Surakarta Tahun 2006

Dari keenam indikator yang digunakan, kondisi terburuk terjadi pada load factor dimana tidak satupun PO yang memiliki kinerja baik. Rata-rata load factor angkutan umum di Surakarta adalah 33 persen pada jam sibuk dan 17 persen di luar jam sibuk, angka ini jauh di bawah standar worlbank yang 70 persen. Jika dilihat secara ekonomi load factor merupakan satu-satunya indikator yang memperlihatkan kondisi di pasar permintaan angkutan umum, indikator lain merupakan indikator yang memperlihatkan kondisi di pasar penawaran angkutan umum.

Buruknya hasil evaluasi load factor angkutan umum tersebut memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa angkutan umum di Surakarta tidak lagi diminati oleh masyarakat. Dampaknya masyarakat Surakarta beralih ke moda transportasi pribadi terutama sepeda motor. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan pengguna kendaraan pribadi yang tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tujuh tahun jumlah kendaraan pribadi di Surakarta meningkat pesat seperti yang terlihat dalam Tabel.2 dimana mobil pribadi meningkat sebesar 82,97 persen atau rata-rata 11,8 persen per tahun, sepeda motor meningkat sebesar 95,62 persen atau rata-rata 13,66 persen per tahun.

Tabel 2 Data Jumlah Kendaraan Bermotor Yang Terdaftar (Kecuali Militer) Tahun 2001-2008

Tabel 2 Data Jumlah Kendaraan Bermotor Yang Terdaftar (Kecuali Militer) Tahun 2001-2008

Jika fenomena pesatnya pertumbuhan kendaraan pribadi dibiarkan maka bisa dipastikan akan timbul berbagai macam masalah yang akan membebani lalu lintas Kota Surakarta baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Permasalahan kelebihan beban pada lalu lintas kota, secara visual dapat dilihat dari adanya kemacetan. Menurut DLLAJ Surakarta tahun 2007, telah ada 17 titik simpang dan 12 ruas jalan yang diidentifikasi sebagai kawasan rawan kemacetan dengan tingkat kronis yang berbeda-beda.

Kemacetan yang selama ini dipandang sebagai sumber masalah transportasi perkotaan sebenarnya adalah dampak dari ketidakmampuan jalan menampung pertumbuhan kendaraan. Efek lanjutan dari kemacetan akan membuat kinerja ekonomi dan kualitas lingkungan kota akan menurun. Dengan demikian perlu dicarikan solusi yang bisa mengatasi permasalahan ini secara tuntas agar Kota Surakarta memiliki angkutan umum yang layak dan manusiawi.

[1] Total Kendaraan= Mobil Penumpang (Dinas, Umum, Pribadi)+ Mobil Beban (Dinas, Umum, Pribadi) + Bis (Dinas, Umum, Pribadi, Sepeda Motor (Dinas dan Pribadi)

March 28, 2008

Persma: Fungsi dan Permasalahan Organisasi

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 10:51 am

Lembaga Pers Mahasiswa adalah wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas menjadi jurnalis. Mahasiswa yang senang akan kegiatan seorang jurnalis, akan mempunyai banyak pengalaman. Karena mahasiswa tersebut akan menyalurkan ide kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran segar guna mengaktualisasikan diri dalam merespon realita yang ada di lingkungan sekitarnya. Realita yang ada akan berubah teus menerus sesuai dengan perkembangan zaman. Maka peran lembaga pers mahasiswa sangat dibutuhkan untuk mensosialisasikan permasalahan yang ada dan alternatif – alternatif solusinya.

Lembaga Pers mahasiswa, atau yang lebih dikenal dengan kata persma, tidak banyak berbeda dengan pers pada umumnya. Salah satu persamaan dari persma dan pers umum adalah fungsinya. Fungsi yang ada pada pers umum dan persma pada dasarnya sama, hanya saja dalam praktek yang notabene berbeda.

Pada dasarnya fungsi* pers ada delapan yaitu informatif, kontrol, interpretatif & direktif, menghibur , regeneratif, pengawalan hak – hak warganegara , ekonomi, dan terakhir adalah fungsi swadaya. Semua fungsi tersebut melekat pada pers umum maupun persma , yang diwujudkan dalam produk – produk mereka ( majalah , bulletin , koran, tabloid, dll ). Sedangkan dalam persma sendiri ada beberapa fungsi yang menonjol. Fungsi yang menonjol antara lain informatif , kontrol dan pengawalan hak – hak warga negara Fungsi tersebut sesuai dengan kepribadian seorang insan pers yang masih duduk di bangku perkuliahan.

Pada era reformasi, persma dijamin kebebasannya untuk menjalankan fungsi – fungsinya. Hal itu didukung denganUU Pers yang cukup menjanjikan. Akan tetapi dengan adanya era kebebasan ini persma semakin lama tidak terdengar gaungnya. Hal ini terjadi karena berbagai macam sebab. Salah satunya adalah permasalahan dari Organisasi Persma itu sendiri.

Keaktifan organisasi persma zaman dahulu dan sekarang berbeda dan dipengaruhi oleh banyak permasalahan. Permasalahan tersebut timbul dan akan coba diungkap adalah permasalahan yang terjadi di Internal organisasi. Beberapa diantaranya adalah permasalahan yang klasik seperti Sumber Daya Manusia (SDM), manajemen persma, dan pengkaderan.

SDM persma yang berkualitas dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah media yang berstandar. Media persma yang terkenal dalam sejarah persma mempunyai SDM berkualitas. Hal itu bisa dibuktikan dengan oplah yang cukup fantastis. Masalah SDM dalam persma berkaitan erat dengan kegiatan utama seorang jurnalis yaitu menulis. Saat ini, budaya menulis dikalangan mahasiswa sangat menurun, karena menulis memang tidak mudah bagi kebanyakan mahasiswa. Dan kegiatan menulis dipengaruhi oleh kegiatan membaca. Begitupula kegiatan membaca di kalangan mahasiswa tidaklah berbeda dengan kegiatan menulis. Hal ini tidak hanya terjadi pada mahasiswa akan tetapi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga dalam website tempo interaktif pada 8 Februari 2008 memberitakan kegiatan yang akan dilaksanakan Presiden RI pada keesokan harinya yaitu Pencanangan Gerakan Membaca Koran di Semarang pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN).

Manajemen persma sangatlah berbeda dengan manajemen pada pers umum. Dalam praktek hal itu dibedakan dengan orientasi organisasi pers itu sendiri. Jika pers umum mempunyai unsur profit oriented, maka persma tidak. Dengan adanya orientasi itu secara tidak langsung menyebabkan profesionalisme yang berkembang pada pengelola. Akan tetapi media persma bukannya tidak dapat bekerja secara profesional. Selain itu masalah manajemen persma berhadapan dengan adanya regenerasi yang terus berjalan, dimana adanya perubahan keanggotaan.

Sistem kaderisasi dalam tubuh persma sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan – permasalahan. Namun dalam kenyataan, hanya beberapa persma yang mempunyai sistem pengkaderan yang bagus. Dalam era reformasi, sistem pengkaderan harus disesuaikan dengan perubahan yang ada. Agar dapat menjaga kontinuitas dari organisasi pers itu sendiri

Segala permasalahan yang timbul tidaklah se-kompleks yang dibayangkan, jika adanya keoptimisan dalam membangun kebangkitan persma yang dahulu pernah berjaya. Persma yang beranggotakan mahasiswa, dimana mahasiswa merupakan agent of change, harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Selain itu pers harus berperan kembali seperti yang dipersepsikan yaitu sebagai The Four State of Democrasy (Pilar keeempat demokrasi). Sehingga persma yang merupakan bagian dari Bangsa Indonesia, mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa.

Oleh : Achmad F.A.

March 8, 2008

Dilarang Menulis!!!

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 1:13 pm

“Kesadaran adalah hukuman paling kejam

yang diberikan oleh Tuhan”

(Catatan di dinding rumah pergerakan)

“Baca dan Lawan” menjadi trademark penerbit Resist Book yang banyak dibaca oleh para pemuda karena beraroma protes, pemberontakan, revolusi, radikal dan kiri yang semuanya adalah jiwa muda. perLAWANANan laksana nafas yang senantiasa mengikuti setiap kehidupan. Hidup adalah kematian tanpa perlawanan. Daya lawan setiap perjuangan menjadi sebuah arti dalam kehidupan. Perlawanan kecil berarti sebuah sebuah kekalahan besar dalam misi keabadian demi perjuangan hidup yang lebih baik.

Benih perlawanan tumbuh dalam musim semi kesadaran. Jiwa kesadaran selalu dibelai mesra oleh kelaliman. Setiap nafas kesadaran selalu beraroma kuburan bagi mereka yang mentasbihkan diri sebagai “pemberontak”, “demonstran”, “pejuang”, “pembela” kemurnian hidup.  Setiap tarikan nafas mereka adalah semangat pembebasan, maka setiap itu pula mereka sangat berhak untuk ditumpas habis untuk melepaskan jiwa juang mereka oleh para penguasa. 

Jika terbesit dalam nafasmu untuk melawan, maka kamu saat itu juga sedang mencicipi kelezatan hidup, dimana banyak orang mati merindukan untuk mencicipi walau setetes, jika mereka diijinkan untuk bangkit hidup kembali.

Lalu, kenapa engkau tidak pernah mau hidup, melawan?

Cawan penuh anggur yang bagaimana yang engkau inginkan, kalau bukan cawan anggur perlawanan?

Ingat! Sekali lagi dicatat di dinding hati dan pikiranmu!

Setiap perlawanan adalah kuburan suci yang akan diinjak-injak orang yang masih bernyawa. Tapi setiap tulisan akan selalu menggaung di setiap zaman sejarah manusia. Setiap perlawanan terhadap tulisan adalah kekalahan bagi mereka yang melawan. Tulisan hidup dalam setiap pikiran manusia yang akan menuntun menuju gerbang kesadaran. Kesadaran adalah kehidupan yang selalu dijaga oleh Tuhan yang Supra Sadar.

Mau melawan?

Mau menulis tentang perlawanan?

Siapkan peti mati satu saja untuk badanmu yang ringkih. Tapi kereta kencana kesadaran dengan segala kemegahannya akan selalu membawamu mengarungi setiap keindahan kehidupan.

 

INI KARYAKU, MANA KARYAMU?

JANGAN “TANYA KENAPA?”

TAPI, KAU BISA MENULIS APA?

☻☻☻☻☻

 

Catatan Pemilihan PU

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 1:06 pm

KEPEMIMPINAN 

DAN ORANG-ORANG YANG TIDAK SIAP DIPIMPIN?

CATATAN PEMILIHAN PU 2008-01-30

            Ada beberapa kesamaan sikap  lima calon pemimpin (Rizwan M, M.Fauzi, K. Adhita, Widhita, A. Fauzan Azhari yang terpilih) pada Musyawarah Anggota kali ini (Musang XI). Kesamaan yang mereka perlihatkan secara tersirat secara umum adalah bahwa sangat kuat sekali keinginan mereka untuk mendorong komitmen yang kuat pada para pemilih bukan untuk menguatkan legitimasi kepemimipinan mereka, tapi lebih pada kesiapan pemilih untuk dipimpin atau diperintah.

            Hal ini secara sederhana mudah dipahami karena yang sering terjadi dalam keorganisasian yang dikelola oleh para mahasiswa sering terjebak pada ketiadaan komitmen orang-orang yang dipimpin, terutama ketika dipilih untuk menjadi peserta aktif atau menjadi bagian dari pengurus. Akibatnya akan sangat terasa pada pengeorganisasian pembagian kerja dan pada saat mereka harus menjalankan tugas.

            Dari kelima calon pemimpin umum itu Fauzan (mahasiswa Fakultas Ekonomi ’04) merupakan pengambil sikap yang paling ekstrem dengan mengajukan “kontrak komitmen” pada seluruh peserta yang memiliki hak pilih. Apakah ini merupakan bentuk ketakutan calon pemimpin pada dirinya sendiri yang membutuhkan kekuatan batin yang lebih besar, sehingga dia rela melakukan tindakan penguatan diri? Atau, ini merupakan bentuk ketidakpercayaan seorang calon pemimpin yang melihat pemilihnya tidak siap untuk dipimpin, untuk itu dia mengharuskan para pemilihnya untuk berkomitmen meski itu merupakan bentuk kediktatoran secara halus, karena pemilih dihadapkan pada situasi yang mendesaknya untuk mau tidak mau harus mengikuti aturan itu, mengingat dia calon yang diunggulkan?

            Seperti yang saya singgung di atas, kontrak komitmen ini merupan bentuk ketidakpercayaan calon pemimpin pada pemilihnya, disamping untuk mendorong komitmen dan konsistensi pemilih pada bentuk pertanggungjawaban langsung pada suara yang mereka berikan. Pada titik ini, saya melihat dua kekaburan atau ketidakjelasan pada konsep kepemimpinan, bukan konsep pemilihan pemimpin. Yang pertama adalah siapa sebenarnya yang memimpin: kepentingan pemilih yang siap memimpin pemimpin (atau pemimpin dipimpin oleh kepentingan) yang pada akhirnya mendudukkan pemimpin Cuma sebagai menejer kepentingan pemilih semata. Inilah menurut saya yang peling ideal dalam pemilihan pemimpin karena kita sebenarnya sudah memiliki pemimpin dengan tiga kriteria logos, pathos, dan ethos (secara sederhananya, memiliki jiwa dan sikap kepemimpinan), walau tidak seratus persen dan masih dipertanyakan.

Para pemilih sudah menyiapkan kepentingan mereka dalam bentuk program yang harus dijalankan oleh pemimpin. Pemilih benar-benar aktif dalam jalannya kerja kepengurusan. Dengan kata lain, yang diperlukan oleh seorang calon pemimpin ini adalah seorang pemilih yang sudah menyiapkan beberapa program, terutama mereka yang akan menjadi bagian dari kepengurusan. “Good goverment is less governce.”

            Selama ini, menurut pandangan umum, pemimpin harus memilki visi-misi yang kuat, aplikatif, menggugah pemilih, dan tentu saja yang sesuai dengan bentuk keorganisasian, selain jiwa dan sikap kepemimpinan. Tentu saja ini merupakan hal bagus dan pantas bahkan syarat untuk diminta oleh pemilih. Namun pada massa pemilih (terutama calon pengurus) yang tidak memiliki komitmen sangat mudah mereka akan menjebakkan diri pada pengabaian, acuh tak acuh, “cuekisme”, dan sikap enggan bertanggungjawab lainnya. Pada akhirnya mereka para pemilih akan memojokkan pemimpin umum pada posisi seorang diktator karena ia menjadi penentu segala hal, mulai dari inisiatif, aplikasi, dan evaluasi yang semuanya berada di tangan pemimpim umum. Bisa jadi pemilih mendudukkan pemimpin pada posisi yang sangat “lain”, mengutip kata-kata dalam buku curhat Kentingan: “Terima kasih telah menerbangkanku setinggi bintang; dan kemudian menghempaskanku ke dasar jurang…” (???????).

            Yang kedua adalah siapa yang seharusnya dipimpim, benarkah mereka yang memilih? Pada kriteria yang pertama sebenarnya sudah ditegaskan bahwa yang memimpin sebenarnya adalah keinginan atau kepentingan para pemilih yang telah menyiapkan program kerja dan pemimpin diposisikan sebagai seorang menejer. Orang sudah pasti memiliki pemahaman ini dalam benaknya masing-masing untuk dipimpin-diperintah. Pada posisi ini, perlu mengkritisi kepentingan pemimpin karena setiap orang pasti memiliki kepentingannya masing-masing. Melemahkan posisinya atau menguatkannya.

Ada kerancuan istilah di sini antara pemimpin, menejer, pelaksana, dan kata-kata sepadan lainnya. Sederhananya: massa pemilih yang siap diperintah ataukah siap dipimpin. Namun pada akhirnya, permasalahan akan mengacu pada pokok persoalan tentang bentuk kepemimpinan yang tercermin dalam kepengurusan: apakah kita akan membentuk kepengurusan yang demokratis atau kepengurusan yang sedikit “diktator” tapi baik atau, taruhlah, yang efektif. Jawabannya tergantung pada para pemilih: mendudukkan pemimpim sebagai manajer demokratis atas kepentingan mereka; membiarkannya menjadi diktator halus dengan menyerahkan berbagai kepentingan dengan bersikap pasif, pasrah bongkoan; atau mengambil jalan tengah (the third way) dengan memperdebatkan dan mempersiapkan program kerja yang matang dengan segala tarik ulurnya kepentingannya, dan pada pelaksanaannya mereka tidak segan-segan beroposisi dengan pengurus?

 

Solo, Februari, 31, 2008.

 

KEPEMIMPINAN

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 1:04 pm

Tentang LPM Kentingan

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 1:03 pm

Pers di Otak Kiriku

Stres di Otak Kananku

“Kekuatan SIMBOL…Apa jadinya sebuah lembaga PERS [jika] ’ga punya terbitan?? Ini jadi pertanyaan BESAR. Sekarang…sampai detik ini”

(sebuah Catatan Kentingan, 20 Mei 2007)

    Berawal dari pertanyaan kegelisahan jiwa, dan entah akan berakhir seperti apa. Pada akhirnya nanti, sebuah pertanyaankah yang mengakhiri? Belum diketahui. Adalah pertanyaan yang memberondong berikut ini “lalu apa yang membedakan sebuah LPM (jelasnya LEMBAGA PERS MAHASISWA) dengan organisasi dan lembaga lain??” Dan lebih dikeraskan lagi, “apa yang membedakan?” Lalu berikutnya, “apa yang bisa membanggakan?.” Ditambah lagi, “apa jalan kita untuk tumbuh dan berproses? Masih belum selesai, “dimana kekuatan sebuah media” dan berakhir dengan kata “confuzz” seraya sekali lagi bertanya, “mo ke arah mana langkah LPM??”

    Sampai beberapa hari belum juga ada jawaban. Yang jelas penanya mungkin tidak mengharapkan adanya jawaban retorik dan superfisial. Halaman berikutnya ada pernyataan-pertanyaan, “BRENGSEK!! Emang ellho siapa?” Jawaban belum diketahui, pun demikian tidak diketahui apa maksud dari pertanyaan tersebut. Tidak diketahui apakah pertanyaan itu sebuah tanggapan atau pernyataan ketidaksetujuan pada pertanyaan di atas.

    Beberapa halaman berikutnya, sebentuk pernyataan pro ditulis, “aku setuju banget. Inti dari Persma adalah TERBITAN, bukan YANG LAIN. JANGAN LUPA PADA APA YANG MAU DITERBITKAN.” Lalu ada pertanyaan yang menantang, “N talking d’ meaning of “PRESS. Man, do you really know what it means?” Lalu dalam hatiku bergejolak. Apa sebenarnya yang terjadi? Dengan tempat ini dan jiwa-jiwa yang menempatinya? Lalu saya iseng, mencoba untuk memberikan tanggapan. Sekedar tanggapan, tidak lebih (tapi kalau ada kelebihan tidak perlu dikembailikan, anggap bonus).

Common sense dan Kentingan
    Secara sederhana, manusia biasanya merespon sesuatu dengan emosi dan kognisi . Ini sudah menjadi sikap naluriah manusia sejak kecil. Seorang bayi dengan sendirinya akan menangis jika terjadi gangguan pada tubuhnya; menangis jika merasa lapar, menangis jika merasa tersakiti dan sebagainya. Pada tahap ini kreativitas emosi bayi masih sangat minim yakni cuma dalam bentuk tangisan.

    Namun setelah mengalami perkembangan emosi seiring dengan bertambahnya pengalaman dan pengetahuan, kreativitas emosinya juga tumbuh. Dia tidak lagi mengekpresikan luapan emosinya dengan menangis. Dia sudah mulai bisa tersenyum, tertawa, bahkan merajut-mengumpat.

    Setelah mulai dewasa di mana kognisi mulai menguasai kehidupannya, ditandai dengan rasa ingin tahu yang mendalam, dia mulai berpikir dan mempertanyakan segalanya secara rasional. Namun dalam kondisi tertentu emosinya masih tetap memberikan warna dalam kehidupannya. Inilah, menurut saya, apa yang terjadi pada beberapa lembaran Catatan Kentingan. Sebuah respon kognisi dan emosi yang menyatu dalam derap kejolak jiwa dan pikiran.

    Secara sederhana, dua inilah: kognisi dan emosi, yang menjadi perespon dalam kehidupan manusia. Yang pertama, kognisi, yang merasionalisasi bentuk-bentuk rangsangan, yang menekankan pada cita rasa analitik terhadap setiap persoalan. Kognisi akan mempertanyakan sesuatu berdasarkan kepantasan menurut akal sehat (common sense). Dia akan memberontak terhadap realitas yang tidak rasional. Sebagai hakim dalam hukum rasionalitas adalah pengetahuan, ilmu dan nalar atas realitas.

    Pada tahap ini, orang yang memiliki gudang “penuh” dengan pengetahuan, ilmu dan nalar, akan merespon lebih cepat dari pada orang yang minim kepekaan kognisi (masih dapat diperdebatkan!). Dalam kasus Catatan Kentingan, bisa ditebak siapa yang paling pertama memberikan respon terhadap masalah originalitas lembaga yang bernama PERS (nama dan fakultas, saya kira, tidak perlu disebut). Persma dalam pandangan orang ini dan dalam banyak benak kita adalah suatu entitas atau lembaga yang banyak berkecimpung dengan dunia terbitan atau tulis menulis. Maka dalam halaman berikutnya, dengan penulis yang sama, tertera:

“Suka menulis

Hobi menulis

Bisa menulis (dech)

Akhirnya hidup menulis.” (18.00 WIB, 25/04/07)

    Ah, apa iya orang-orang LPM itu suka menulis yang pada akhirnya berani hidup dalam “dunia kata” (sorri minjem bahasanya Fauzil Adhim dalam bukunya yang berjudul Dunia Kata). Tapi kayaknya lebih enak hidup di “Dunia Kapur”nya Rudy aja kale, dalam acara TV Global. Biar bisa mencoret-coret sampai mencret setiap dinding: dinding pikiran kita, dinding emosi kita, dan dinding hati kita, tanpa perlu bersakit hati dan disakithatiin. USUL bagaimana kalau LPM Kentingan kita ganti menjadi LEMBAGA PENULIS MAHASISWA Kentingan. Setuju? Gitu aja ko’ repot. Kok melenceng begini, ntar diemosiin lagi. Ya, maaf. Kembali ke laptop! Keliru, computer, deng.

Dua Krisis
    Di sini terlihat sebuah krisis, setidaknya dua: perencanaan dan implementasi. Pertama, krisis perencanaan yang sudah menjadi rahasia pengurus. Maksud dari rahasia pengurus adalah sedari awal kepengurusan seakan ditekankan bahwa program kerja setiap bidang Cuma milik pengurus itu saja, terutama dalam perencanaan, tanpa melibatkan anggota, sekali lagi tanpa melibatkan anggota. Hal ini terlihat dalam rapat proker (program kerja) pengurus dimana anggota tidak ada sama sekali. Sehingga timbul pertanyaan, apa iya pengurus bisa melakukannya tanpa anggota. Padahal dalam banyak kasus, permasalahan bukan saja dalam tataran praksis namun lebih pada kesamaan pemikiran dan persepsi. Bukan tidak mungkin anggota akan membantah program kerja pengurus jika menurut mereka program kerja itu tidak laik untuk dikerjakan dengan berbagai argumentasi. Bukankah kita akan melaksanakan sesuatu dengan harmonis jika kita punya landasan dasar yang sama?

    Dan hal ini bisa terlihat dalam beberapa perdebatan tentang acara Solo Membaca 2007 di mana ada sebagian anggota yang tidak setuju. Ada juga yang setuju pada tahap awal namun setelah dalam proses dia (mereka) tidak diketahui ke mana rimbanya. Di sini perlu adanya kesamaan pemikiran dan konsepsi-persepsi yang ditunjang oleh komitmen mendalam sebagai motor penggerak jiwa.

    Krisis perencanaan sebenarnya bisa dengan mudah diselesaikan dengan “TRI KOMANDO.” Pertama orang-orang lama yang sudah banyak memakan asam garam dunia Kentingan dan Persma, dan tentu saja yang masih ada dan bisa diajak mikir bareng (tapi dimana kepedulianmu, wahai orang-orang berasam garam?). Kedua pengurus yang menjadi pemegang otoritas pelaksanaan. Dan ketiga adalah para anggota yang menjadi kekuatan kedua dalam gerak kerja lembaga ini. Mereka ini seharusnya bergabung dalam proses perencanaan.

    Kedua, krisis implementasi yang sangat gamblang terlihat dalam hampir setiap kegiatan, dari awal kepengurusan sampai detik ini dan dari historitas LPM Kentingan sedari tempo doeloe. Sampai sekarang belum ditemukan vaksin pencegah krisis implementasi ini. Jika ada kegiatan, yang menjadi pekerja lapangan, ya itu itu terus.

    Mengenai masalah yang terakhir ini, jadi ingat tentang produk ‘utama’ kita :MAJALAH KENTINGAN. Majalah Kentingan dan juga bulletin Civitas, kalau aku lihat, sudah terjerat oleh dua rantai setan tadi: krisis perencanaan dan krisis implementasi. Akankah nasib majalah Kentingan akan sama dengan yang lainnya? Jawabanya sederhana saja; jika dua rantai setan ini tidak segera diputus, bisa dipastikan akan bernasib tragis. Tidak akan pernah terbit dan untuk itu kita perlu mereformasi ulang Kentingan menjadi LEMBAGA PENERBITAN MAHASISWA KENTINGAN!

    Krisis implementasi biasanya berawal dari krisis perencanaan. Dan didukung oleh banyak hal; mulai dari kapasitas keilmuan yang krisis, financial, kesolidan pengurus-anggota dan tentu saja komitmen. Anda boleh menambah daftar krisis dan penyebabnya kalau mau.

    Ujung-ujungnya, respon kita pada KENTINGANISME, paham dan semangat tentang ke-Kentingan, atau yang bertujuan untuk mencapai dan memelihara suatu pemerintahan sendiri (dalam hal ini eksistensi Kentingan dengan visi-misinya; jiwa nasionalisme terhadap ke-Kentingan kita), akan terus dipertanyakan dan diperdebatkan, sekali lagi dipertanyakan tentang ke-PERS-annya.

    Dan saat itu datang menghampiri, maka ia membuat otak kiri saya, semoga Anda tidak, berkecamuk. Otak kiriku sering dan sangat sering bertanya, berpikir analitis; terkadang pertanyaan kita sama, dan sering juga berbeda. Di sisi sebelah kanan (otak kanan) yang banyak dikuasai oleh emosi jiwa, meronta dan merintih. Saat ronta-rintihan itu memuncak pada titik klimaks, maka saat itu sering agak ‘stress’ (segala sesuatunya terjadi tanpa terasa), tapi stress sungguhan pernah juga. Perlu di ruwat mungkin, sori perlu di-SWOT. Mau?

    Saat keduanya mengepung diri, maka dunia ini begitu “asing…terasa asing. Tempat yang telah lama aku diami…yang tlah lama ada di hatiku…sekarang bagaikan sesuatu yang baru… yang lain dan aneh…mungkin terlalu lama aku berdiam diri…udah terlalu lama dan jauh aku lari…lari yang tidak tahu kemana arah dan tujuan. Semakin aku berlari, semakin aku kehilangan arah. Semakin kencang lariku… kakiku semakin sakit.” Semoga Anda tidak pernah, saya doakan. Amin

☺☺☺

 

January 13, 2008

PERSMA:ORGAN PENDIDIKAN, HOBI ATAU PERJUANGAN?

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 4:31 pm

“5% of the people think, 10% think they think

and the other 85% would rather die than think”

Thomas Alfa Edision

Secara sederhana aktivitas mahasiswa dalam sebuah organisasi bisa dipetakan kedalam tiga blok motivasi: pendidikan, hobi, dan perjuangan[1]. Setiap motivasi membawa bentuk dan corak aktivitas yang berbeda-beda. Pada saat ini sulit mengklasifikasikan mana yang lebih condong pada sebuah organisasi. Dan sebagai konsekuensinya mungkin akan terjadi benturan kepentingan, walau tidak terasa.

Tiga motivasi atau tujuan tersebut yang paling banyak mendapat tempat adalah yang pertama dan kedua: pendidikan dan hobi. Yang ketiga hampir sangat sulit mencarinya pada organ-organ mahasiswa. Di UKM UNS ini bisa dikatakan sebagaian besar adalah yang bergerak pada ranah dua tadi. Mahasiswa ikut sebuah organ dengan motivasi mendapat “ilmu” tambahan selain yang mereka peroleh dari bangku kuliah. Ada juga yang menjadikan organ mahasiswa sebagai tempat melanjutkan atau menyalurkan hobi.

Persma (pers mahasiswa), dimana posisinya dalam ketiga peta tersebut? Inilah yang akan coba sedikit di’pertanya’kan dalam tulisan ini. Persma, setelah hampir dua tahun bersama, aku melihatnya, sebagai wadah atau organ pendidikan. Lebih spesifik lagi sebagai tempat menimba “ilmu” kejurnalistikan. Memang ada beberapa yang lebih condong dengan kehobian seperti fotografi. Namun jika ditelisik lebih dalam maka itu juga bagian dari kejurnalistikan.

Apa sebab dan konsekuensinya jika persma terpaku sebagai organ ‘pembekalan’ ilmu jurnalistik saja, dan pipa penyaluran hobi? Lalu adakah  dalam persma sedikit ruang sebagai organ perjuangan? Adakah yang ini lebih sebagai hal “lain” dalam persma sekarang? Jika persma bergerak dalam ranah perjuangan apa yang harus diperjuangkan? Dan bagaimana bentuk perjuangannya? Ini terkait erat dengan visi-misi persma sendiri dan seberapa kuat hal tersebut terimplementasi dalam nafas gerak keorganisasiannya. Dan tentunya ada beberapa hal struktural yang harus berubah dengan perubahan status tersebut.

 

“Masturbasi ‘Intelektual’ ”

            Persma sebagai organ pendidikan kejurnalistikan jelas sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Persma dalam keadaan apapun akan bergerak dalam dunianya sendiri: tulis-menulis (kejurnalistikan). Namun jika ditelisik lebih mendalam sebenarnya persma, jika berada dalam ranah ini saja, menjadi tidak punya taring sama sekali. Apa lagi persma yang diawaki oleh mahasiswa yang notabene “kaum intelektual”[2] memang sebagai sebuah kutukan sepanjang hidup persma untuk terus dalam posisinya ini.

Pada posisi ini, pegiat persma akan mudah saja berhenti dan merasa puas diri dengan adanya bukti konkret: terbitan baik itu berupa majalah, bulletin, atau bahkan jurnal. Entah itu terbit setiap satu minggu sekali, setiap bulan atau bahkan yang sampai setiap tahun bahkan lebih[3]. Persma dengan bukti itu berarti sudah melaksanakan “kewajiban”nya sebagai organ yang bergerak pada ranah kejurnalistikan. Apakah Anda puas dengan ini semua? Meskipun terbitan Anda pas-pasan dan tidak memiliki pengaruh sama sekali karena mengusung jargon  dan mutu “ASAL TERBIT”?

Sulit sekali beranjak dari posisi ini jika tidak punya idealisme[4] yang lebih dari sekedar “kewajiban” tersebut. Persma akan terseret dalam labirin pemenuhan kesenangan belaka (hobi dan kebutuhan yang kurang bertanggung jawab). Maka tidak mengherankan jika persma Cuma sebagai tempat “masturbasi intelektual”[5] semata. Bahkan harian Suara Merdeka menulis tentang persma dengan judul yang angker “Matinya Pers Mahasiswa”[6] dengan ilustrasi kuburan dimana batu nisannya bertuliskan persma, entah kapan matinya, tapi di sana banyak rerumputan dan rimba pepohonan kecil-kecil menghiasnya. Persma sudah lama mati, demikian kesimpulan ilustrasi itu.

Dalam diskusi dan juga dalam tulisan tersebut bukan menyinggung persma sudah tidak beroperasi lagi, tapi menggugat tentang matinya peranan dan signifikansi keberadaan persma. Hal inilah yang sebenarnya menjadi persoalan dan harus menjadi perhatian persma saat ini. Dan menurut penulis penyebab utamanya adalah persma yang bergerak pada ranah kejurnalistikan dan hobi sebagai “the only” tujuan dan motivasi pegiat persma.

 

UKM Penelitian ( buah pemikiran)

Sebagai Unit kegiatan (kehobian) Mahasiswa, persma memang akan sarat dengan ‘pendidikan’ kejurnalistikan dan tempat menyalurkan hobi. Namun sebagai mahasiswa dan pegiat pers kampus, persma sangat relevan jika bergerak dalam ranah pemikiran, mengingat tuntutan zaman. Mahasiswa sebagai pemuda, pada masa reformasi ini, sangat diharapkan bergerak pada rahah ini.

Majalah Gatra dalam edisi khusus nomor 40 tahun 1X-23 Agustus 2003, dengan judul “Revolusi Kaum Muda” mengingatkan akan hal itu dalam rubric mukadimahnya dengan judul: “Para Pemuda: Melahirkan Kembali Indonesia”.

“Soekarno (1901-1970), Hatta (1902-1980), Sjahrir (1909-1960), adalah pemuda trio pemuda yang merebut pena sejarah pada zamannya. Dalam usia likuran, mereka memimpin gerakan perlawanan terhadap penjajahan, dan pada usia 40-an menjadi para pemimpin Negara—di bawah “tekanan” angkatan yang lebih muda lagi: Adam Malik, B.M Diah, Wikana….”.

lebih lanjut dalam tulisan itu menyebutkan tentang kekecewaannya pada orde baru yang telah membelenggu para pemuda.

“Di bawah rezim Soeharto, sepanjang lebih dari 30 tahun kemudian, republic ini mengapung dalam “gelembung ekonomi”, juga kekerasan, dan korupsi yang tiada tara, hingga akhirnya tersungkur dalam tragedy sendiri—tanpa meninggalkan “buah pikiran”, melainkan cerca dan trauma.”(tulisan ditebal-miringkan oleh penulis)

Hal ini dipertegas oleh Ignas Kleden yang pernah menulis tentang pemuda Indonesia pada masa itu yang masuk dalam ranah pers Indonesia:[7]

“… pers Indonesia—berdasarkan warisan sejarahnya—senantiasa ditandai oleh komitmen sosial-politik yang kuat. Pada awalnya pers Indonesia adalah pers perjuangan, yang didukung oleh intelektual-intelektual terbaik dari zaman perjuangan…. Menarik untuk dicatat bahwa hampir semua pemimpin Indonesia dari generasi ’28 adalah penulis aktif dalam pers”.

Maka lahirlah “buah pikiran” dari anak bangsa masa itu: NASAKOM, MADILOG, MANIKEBU, dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan pemuda asuhan zaman reformasi ini? Munurutku inilah sebuah “tugas suci” yang dibebankan kepada pemuda sekarang.

Dalam banyak diskusi, kawan-kawan banyak yang mengeluhkan zaman reformasi yang tanpa landasan “buah pikiran”. Reformasi yang ada menurut mereka Cuma bertujuan menjatuhkan Soeharto belaka. Tanpa landasan pemikiran sebagaimana Soekarno, Hatta, Sjahrir dsb─penulis sependapat dengan mereka. Maka jadilah Indonesia yang mengapung dalam perahu krisis di samudra yang tidak diketemukan ujungnya.

Persma, menurut penulis, idealnya pada saat ini harus bergerak pada ranah-RANAH PEMIKIRAN baik tentang pendidikan, social atau kebangsaan bahkan dunia. Karena jika hanya pada jalur lurus kejurnalistikan, maka jelas persma akan berhadapan dengan pers umum. Dan ini jelas tidak menguntungkan persma dalam segala hal; modal, SDM, profesionalisme, data dokumentasi, segala. Kecuali mungkin idealisme, jika pegiat persma masih punya? Tentang spesifikasi zona pemikirannya ini menurut penulis adalah wewenang pegiat persma sendiri.

 


[1]  Klasifikasi ini sebenarnya sangat simplisistik dan memojokkan motivasi-motivasi yang lain. Namun penulis menganggap ini secara aksiomatik adalah kebenaran, mengingat pengalaman pribadi dan dalam banyak diskusi dengan berbagai mahasiswa memang seperti itulah adanya.

 

[2] Aku agak menyangsikan tentang ke”intelektual”an awak pegiat persma. Kalau melihat definisnya intelektual sebagaimana Daniel Dhakidae menyebutkan dalam bukunya yang tebal…. Sungguh kesangsian penulis semakin mendapat tempat. Tapi memang seharusnya mahasiswa adalah orang-orang yang intelektual. Kalau tidak mending ke-MAHA-(siswa)-annya dibuang. Siswa saja cukup. Itu sudah terlalu berat disandang jika mau bertanggung jawab secara moral, social, dan tentunya secara akademis.

[3] Yang agak lucu dan menggelikan adalah jika sebuah MAJALAH yang terbit setiap tahun bahkan lebih. Pegiat persma secara tidak langsung dan sengaja membuat definisi majalah sendiri! Mana ada majalah terbit setiap tahun. Itu namanya buku laporan tahunan, namanya!

[4] Mahasiswa yang tidak punya sebuah pegangan atau prinsip (boleh disebut idealisme) maka apa yang menjadi perbedaan mahasiswa dengan orang awam lainnya?

[5] Kata ini penulis dengar pertama kali dari seorang PU LPM Ekulibrium FE UGM dalam sebuah diskusi persma dengan tema “Impotensi Persma” di FE UNS.

[6] Lihat di harian SUARA MERDEKA, Matinya Pers Mahasiswa!, edisi 16 November 2006

[7] Ignas Kleden, “Kebebasan Pers atau kemungkinan Berkomunikasi?” (kata pengantar), dalam bukunya Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987). Dalam memasukkan hal ini ada sebagian pegiat persma yang menganggap sebagai “beban sejarah” yang sudah menjadi “romantisme” yang harus segera dilenyapkan. Menurut penulis sejarah adalah “Historia Magistra” yang dari sanalah kita berpijak, bukan melupakannya.

Matinya Pers Mahasiswa !

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 3:59 pm

Dulu hampir semua mahasiswa memiliki kebanggaan terhadap penerbitan di kampus masing-masing. Namun kebanggaan itu mulai terkikis, seiring dengan kondisi pers mahasiswa yang makin kolaps di beberapa kampus. Bahkan tidak sedikit yang mati, entah mati suri atau untuk selamanya. Benarkah pers mahasiswa telah mati?

SEKILAS, ketika berbicara tentang jurnalisme kampus, pikiran kita akan tertuju kepada pers mahasiswa. Ini merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), baik di tingkat fakultas maupun universitas, yang dikelola para mahasiswa. Keberadaan UKM Jurnalistik di kampus menjadi sarana penyaluran minat dan bakat mahasiswa di bidang jurnalistik dan tulis-menulis.

Meski demikian, jangan sampai nilai-nilai sosial politik pers mahasiswa terlupakan. Sebab di antara visi pers mahasiswa yang cukup penting ialah sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan birokrat; sebagai ruang publik antara kampus dan pemerintah maupun masyarakat; dan sebagai media komunikasi antara mahasiswa dan masyarakat.

Melalui pers mahasiswa inilah tertuang ide-ide brilian mahasiswa dan masyarakat, baik berupa kritik, argumentasi, maupun solusi terhadap persoalan internal dan eksternal kampus. Mulai dari persoalan agama, politik, ekonomi, hukum, hingga pendidikan, dan sebagainya. Dengan begitu, segala macam dinamika kampus dan masyarakat akan selalu terpublikasikan.

Selain itu, pers mahasiswa juga merupakan alat ampuh untuk memperkuat eksistensi mahasiswa. Pers mahasiswa menjadi aset besar bagi kampus dalam mengembangkan wacana-wacana kritis mahasiswa. Dalam dekade pascareformasi sampai sekarang, agaknya mahasiswa sudah tidak lagi mempunyai ke-kuatan yang bisa menjadi agent of change. Gerakan mahasiswa sebagai mobil dari gerakan reformasi tampaknya pada saat ini bergerak dengan dasar pemahaman sendiri-sendiri. Lebih cenderung mengedepankan ego masing-masing, serta merasa ingin menjadi pahlawan yang ingin dihormati tanda jasanya.

Dalam hal ini pers mahasiswa merupakan alat paling efektif untuk memunculkan pemikiran-pemikiran baru dalam konteks kebersamaan, demi tujuan bersama. Tetapi nasib jurnalisme kampus kini sungguh memperihatinkan. Di tengah maraknya media massa baru yang tumbuh subur belakangan ini, produk jurnalisme kampus nyaris tidak terdengar.

Padahal produk jurnalisme kampus di Indonesia pernah mengalami masa kejayaan. Pada awal tahun 1970-an, muncul Harian KAMI, Mimbar Demokrasi, Mahasiswa Indonesia, dan sebagainya. Pembacanya bukan hanya kalangan mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum dengan oplah mencapai 30.000 hingga 70.000 eksemplar.

Tidak Populer

Yang lebih tragis, kini pers mahasiswa justru tidak populer di kalangan mahasiswa sendiri. Bahkan tak banyak mahasiswa yang tahu tentang keberadaan pers mahasiswa, kecuali segelintir saja: para pengelola dan aktivis mahasiswa. Padahal jumlah lembaga pers mahasiswa di negeri ini mencapai ratusan. Tidak banyak pula yang menyadari kalau pers mahasiswa merupakan wadah yang sangat baik untuk menempa intelektualitas pengelolanya.

Selain itu, dapat dijadikan pembelajaran bagi yang ingin menekuni dunia jurnalisme profesional. Sebenarnya banyak faktor yang mendukung pers mahasiswa sebagai wadah pembelajaran bagi calon jurnalis sejati. Salah satunya adalah tempat untuk menanamkan idealisme moral -hal penting dan harus dimiliki jurnalis profesional dalam menjalankan tugasnya. Dalam kultur pers mahasiswa, kita dibiasakan untuk memiliki independesi. Satu-satunya keberpihakan adalah pada realitas itu sendiri.

Rendahnya minat baca dan menulis di kalangan mahasiswa atau dosen termasuk faktor-faktor penyebab kemerosotan jurnalisme kampus. Kegiatan menulis di kalangan mahasiswa biasanya dikaitkan dengan kewajiban menulis laporan perkuliahan dan menulis kewajiban skripsi. Akibatnya, karena tak terbiasa menulis, tidak sedikit yang melakukan penjiplakan (plagiasi) atas karya orang lain.

Di sini, sebenarnya para mahasiswa bisa menarik manfaat dari keberadaan jurnalisme kampus. Karena sejak awal dia akan mempelajari bagaimana teknik penulisan, sehingga tidak perlu harus melakukan penjiplakan.

Kurangnya apresiasi dari pengelola kampus terhadap budaya menulis menyebabkan jurnalisme kampus dianggap sebagai kegiatan kurang bermanfaat. Ketatnya jam perkuliahan memang membutuhkan siasat tersendiri bagi yang ingin masuk dalam kegiatan ini. Mereka pun harus mampu mengatur kesibukan mengelola media dan mengatur jadwal masuk kelas.

Kapitalisme Media

Di luar itu, iklim kapitalisme media yang menjadikan acara infotainment di televisi lebih menggugah kesenangan masyarakat juga membuat jurnalisme kampus makin tergeser.

Peredaran surat kabar yang berbau politis sampai porno-grafi tidak jarang membuat media yang dikelola mahasiswa kesulitan menentukan positioning segmen pasar. Seringkali materi berita atau gagasannya sudah basi, sehingga kurang menarik bagi pembaca.

Lebih memprihatinkan lagi, kemerosotan nilai dan mutu itu cenderung mematikan pers kampus, cepat atau lambat. Sebagai konsekuensi dari adanya kapitalisme media, dewasa ini kita betul-betul merasakan kebutuhan untuk menerima informasi secara netral, jujur dan objektif. Selain itu, pers mahasiswa telah memiliki pasar yang jelas yaitu mahasiswa itu sendiri. Tinggal bergantung pada pengelola pers mahasiswa, mampukah mereka mengembangkan kreativitas dan peka dengan kebutuhan pasar.

Sudah saatnya pers mahasiswa sebagai media sivitas akademika maupun masyarakat umum lebih inklusif dan aktif lagi dalam melibatkan pihak-pihak lain yang membutuhkan. Sehingga mahasiswa dan masyarakat umum ikut merasa memilikinya.

Dari sinilah pers mahasiswa sebagai media publik dan penyalur aspirasi akan mendekati kenyataan, sehingga kelak benar-benar menjadi ajang intelektualitas antara mahasiswa dan masyarakat.

Pers mahasiswa harus melakukan reposisi dan reorientasi, seiring perubahan kondisi sosial-politik di Tanah Air. Mahasiswa harusnya jeli dan berpandangan cerdas, pers mahasiswa bukan semata-mata milik pengurus organisasi pers mahasiswa yang ada. Namun bagaimana mereka sadar bahwa ia adalah milik bersama dan harus dijaga serta terus dikembangkan. Karena sangatlah jelas matinya pers mahasiswa berarti matinya demokrasi di kampus ini. Mampukah pers mahasiswa kembali menunjukkan tajinya..? (Dela Sulistiyawan Yunior-32)

diambil dari SUARA MERDEKA, Kamis, 16 Nopember 2006

http://www.suaramerdeka.com/harian/0611/16/opi05.htm

Menyoal Peran Serta Persma

Filed under: Uncategorized — lpmkentingan @ 3:50 pm

Refleksi Hari Pers Nasional[1]

Refleksi atau pun kontemplasi bisa saja sebagai media penghakiman diri. Yang jadi hakim adalah yang dihakimi itu sendiri. Kasusnya adalah aktivitas, visi-misi sebagainya, terkait dengan eksistensi masa depan. Keputusan yang dihasilkan bisa sebuah komitmen, pemantapan visi-misi, restrukturisasi kelembagaan dan seterusnya. Dan refleksi bisa datang hanya dari sebuah pertanyaan atau bisa juga dari pikiran besar bahkan guyonan kecil.

 

Pertanyaan awal bisa: Kenapa pada zaman “romantisme” pers mahasiswa (selanjutnya persma) tidak tersentuh oleh penguasa otoriter? Persma begitu garang dan berada di garda terdepan dalam mengkritisi pemerintahan. Bahkan Daniel Dhakidae menyebutnya sebagai adversary journalism, jurnalisme perlawanan[2]. Persma begitu gigih menyatakan diri sebagai oposan sejati pemerintahan otoriter.

Di sisi yang lain pers umum banyak yang dibredel atau paling tidak harus banyak menyesuaikan diri dengan keinginan sang Jendral Soeharto. Pemerintah pada persma mengeluarkan surat perintah NKK/BKK[3], bukan mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pertanyaanya jika dikerucutkan: apakah benar persma adalah pers, punya SIUPP? Yang sesuai dengan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers yang mengharuskan berbentuk lembaga sosial dan perusahaan pers harus berbentuk Badan Hukum Indonesia[4]?

Lalu pantaskah persma jika ikut merayakan Hari Pers Nasional (HPN)? Bukankah pers umum—maaf bukan bermaksud menuduh—telah ‘membunuh’ persma? Jika toh persma adalah pers, pantaskah persma memperingati HPN, di saat posisi dan peran sertanya terhadap dinamika sosial-politik-ekonomi masyarakat sudah mati atau minimal sangat dipertanyakan[5]?

Sosok persma

Jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin: ya, tidak atau tergantung. Tapi sudahlah kita akhiri perdebatan tentang nama dan status sosial-hukum persma yang akan menjauhkan dari masalah yang lebih vital, peran serta persma terhadap persoalan kerakyatan. Masyarakat tidak akan melirik hanya karena nama dan status tanpa adanya sumbangsih pada perbaikan masyarakat, apalagi rakyat terus bergelut dengan krisis yang tidak kunjung berakhir plus bencana yang selalu siap menerkam.

 

Jika kita mempertanyakan peran serta persma, maka posisi persma bukan lagi sebagi lokus, medium di mana informasi saling dipertukarkan, dikirim atau disebarluaskan. Tetapi persma sebagai sosok, entitas atau lebih jauh lagi sebagai kekuatan sosial. Karena jika persma diposisika sebagi lokus tentu saja dia kalah telak dengan pers umum.

Dalam pandangan ini (persma sebagai lokus) persma diposisikan sebagai refleksi atau cermin dari realitas masyarakat. Pandangan ini kemudian melahirkan asumsi: media (persma) yang berada dalam struktur masyarakat yang otoriter maka media akan mencerminkan sikap dan nilai-nilai otoriter, jika struktur masyarakat menganut isme liberal maka persnya akan berkarakter libertarian, demikian juga jika struktur masyarakatnya demokratis maka persnya juga demokratis[6]. Namun dalam sejarah persma teori ini malah terjadi yang sebaliknya. Persma tidak otoriter malah memperjuangkan nilai-nilai demokratis-liberal.

Berdasarkan pandangan ini posisi persma sebagai resipien atau konsumen dari berbagai perubahan atau interaksi sosial ekonomi-politik di luar dirinya. Pada posisi ini pers sering berada di tangan penguasa, pemerintah otoriter, pemerintahan demokratis oligarkis, atau para kapitalis.

Sedangkan posisi persma sebagai sosok, entitas atau kekuatan sosial maka persma bisa diasumsikan sebagai sesosok manusia. Dia memiliki berbagai organ yang saling mendukung untuk pergerakannya. Sampai di sini permasalahan yang dihadapi persma bisa datang dari berbagai organ internal atau eksternal, seperti maraknya penerbitan. Yang terpenting dalam menghadapi permasalahan ini adalah otak (visi-misi atau yang paling mungkin adalah ideology persma). Dialah yang memberi komando kemana arah yang dituju dan bagaimana merespon terhadap permasalahan internal-eksternal.

Reinvensi ideologi persma

Ideology persma sangat penting sebagai motor penggerak laku idealis-revolusioner jurnalistiknya(?). Menurut Frans Magnis Suseno[7], ideologi dimaksudkan sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Sistem ideologi persma selama ini tidak pernah diajarkan karena sebenarnya tidak ada kesepakatan umum tentang ideologi persma. Sehingga mustahil disosialisasikanya ideolgi persma pada anggota baru. Dan kalau pun persma mempunyai ideologi bagaimana mentransfer pada anggota baru?

 

Pada tahun yang lalu (Ciputat, 24-28 Juli 2006) sempat diadakan diklat jurnalistik tingkat lanjut yang mengambil tema “Penguatan Peran Pers Mahasiawa terhadap Problematika Kerakyatan” dengan genre “Jurnalisme Advokasi” oleh Forum Pers Mahasiswa Jabotabek (FPMJ). Dalam diklat tersebut mereka mencoba mencari jalan keluar kebuntuan atas peran persma yang tidak terlihat secara eksplisit, yang disebabkan oleh ideologi persma yang tidak jelas. Diklat tersebut berusaha mereposisi ideologi persma karena banyak yang mengatakan bahwa internal (ideologi) persma sebagai masalah dasarnya di samping masalah manajerial persma sendiri.

Permasalahan ini banyak menyebabkan ekses negatif pada tubuh persma mulai dari perubahan segmen yang makin mengerucut pada mahasiswa saja (back to campus); kurangnya kepekaan terhadap dinamika sosial masyarakat; sampai pada lemahnya atau bahkan matinya daya juang pegiat persma dalam mengartikulasikan aspirasinya baik di tingkat kampus maupun nasional.

Persma seharusnya memiliki ideologi yang menyuguhkan kerangka atau konsep orientasi dasar (katakanlah sebagai pondasi dasar, jika itu sebuah rumah), sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakatnya (open ideology). Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

Namun selama ini pengkaderan anggota persma masih konvensional, terlalu fokus pada ilmu kejurnalistikan dan masih belum menyentuh pada tataran ideology persma yang idealis idealis-revolusioner jurnalistiknya(?). Pemahaman kejurnalistikan sejatinya cuma sebagai media untuk mengaktualisasikan ideology, bukan motor penggerak.

Kurang tersentuhnya ideologi persma selama ini disebabkan hilangnya orientasi persma pasca 1998. Padahal ideology bisa menjadi motor penggerak pegiat persma dalam menjalani laku idealis-jurnalistiknya(?). Motor penggerak ini hampir tidak pernah didiklatkan oleh pegiat persma selama melakukan pengkaderan. Kalau dalam ajaran agama ideology (tauhid jika dalam agama Islam) ini sangat penting sehingga diajarkan pada awal seorang pengikut masuk dalam agama tertentu. Sedangkan dalam pengkaderan persma, ideologi menjadi barang yang ‘tabu’ untuk didiklatkan apalagi didogmakan pada anggota barunya.

Perubahan persma masih seputar perubahan tampilan (lay out), sekmen pasar (back to campus) dan bentuk media (dari majalah ke jurnal, tapi cuma sebagian persma). Sedangkan perubahan yang lebih mendasar (ideology) hampir tidak ada yang begitu signifikan.

Kecenderungan persma sekarang memang mengarah pada jurnalisme sosial dan jurnalisme pop. Persma lebih banyak menyoroti masalah sosial masyarakat umum dan kehidupan segmen pasarnya, mahasiswa yang begitu kental dengan budaya pop.

Apakah itu relevan dengan tuntutan jaman sekarang? Jawaban untuk pertanyaan itu mungkin masih terlalu dini untuk dikemukakan sekarang. Persma sekarang ini masih dalam fase metamorfosis. Bisa dikatakan belum sampai pada puncak pencarian diri. Sejarah masa depan persma memang sebuah alam gelap penuh ketidakpastian. Masih belum bisa tersentuh dengan teleskop futurulogistik sebagaiman banyak digunakan oleh para futurulog.

Sebuah pencarian, apalagi jika itu sebuah kebenaran, memang tidak harus “sekali berarti, sesudah itu mati”, meminjam sajaknya Chairil Anwar. Kecuali, jika itu sudah final decision bagi nasib persma (???/!!!/…).

 

 


[1] Di tulis oleh M. Fauzi, mahasiswa sastra Inggris UNS, Solo. e-mail:fauzi_sukri@yahoo.co.id

[2] Lihat, Daniel Dhakidae, Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers, PRISMA, No.10 Oktober, 1977

[3] Baca Suprianto, perlawanan pers mahasiswa sepanjang NKK/BKK

[4] Lihat undang-undang Republik Indonesia No.40 tahun 1999 tentang Pers, bab I pasal 1 dan pasal 9 ayat 2

[5] Baca SUARA MERDEKA, Matinya Pers Mahasiswa!, edisi 16 November 2006

[6] Fred S. Siebert dkk, Empat Teori Pers terbitan Intermasa Jakarta

[7] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1991, hlm 230.

Next Page »

Blog at WordPress.com.