Pers di Otak Kiriku
Stres di Otak Kananku
“Kekuatan SIMBOL…Apa jadinya sebuah lembaga PERS [jika] ’ga punya terbitan?? Ini jadi pertanyaan BESAR. Sekarang…sampai detik ini”
(sebuah Catatan Kentingan, 20 Mei 2007)
Berawal dari pertanyaan kegelisahan jiwa, dan entah akan berakhir seperti apa. Pada akhirnya nanti, sebuah pertanyaankah yang mengakhiri? Belum diketahui. Adalah pertanyaan yang memberondong berikut ini “lalu apa yang membedakan sebuah LPM (jelasnya LEMBAGA PERS MAHASISWA) dengan organisasi dan lembaga lain??” Dan lebih dikeraskan lagi, “apa yang membedakan?” Lalu berikutnya, “apa yang bisa membanggakan?.” Ditambah lagi, “apa jalan kita untuk tumbuh dan berproses? Masih belum selesai, “dimana kekuatan sebuah media” dan berakhir dengan kata “confuzz” seraya sekali lagi bertanya, “mo ke arah mana langkah LPM??”
Sampai beberapa hari belum juga ada jawaban. Yang jelas penanya mungkin tidak mengharapkan adanya jawaban retorik dan superfisial. Halaman berikutnya ada pernyataan-pertanyaan, “BRENGSEK!! Emang ellho siapa?” Jawaban belum diketahui, pun demikian tidak diketahui apa maksud dari pertanyaan tersebut. Tidak diketahui apakah pertanyaan itu sebuah tanggapan atau pernyataan ketidaksetujuan pada pertanyaan di atas.
Beberapa halaman berikutnya, sebentuk pernyataan pro ditulis, “aku setuju banget. Inti dari Persma adalah TERBITAN, bukan YANG LAIN. JANGAN LUPA PADA APA YANG MAU DITERBITKAN.” Lalu ada pertanyaan yang menantang, “N talking d’ meaning of “PRESS. Man, do you really know what it means?” Lalu dalam hatiku bergejolak. Apa sebenarnya yang terjadi? Dengan tempat ini dan jiwa-jiwa yang menempatinya? Lalu saya iseng, mencoba untuk memberikan tanggapan. Sekedar tanggapan, tidak lebih (tapi kalau ada kelebihan tidak perlu dikembailikan, anggap bonus).
Common sense dan Kentingan
Secara sederhana, manusia biasanya merespon sesuatu dengan emosi dan kognisi . Ini sudah menjadi sikap naluriah manusia sejak kecil. Seorang bayi dengan sendirinya akan menangis jika terjadi gangguan pada tubuhnya; menangis jika merasa lapar, menangis jika merasa tersakiti dan sebagainya. Pada tahap ini kreativitas emosi bayi masih sangat minim yakni cuma dalam bentuk tangisan.
Namun setelah mengalami perkembangan emosi seiring dengan bertambahnya pengalaman dan pengetahuan, kreativitas emosinya juga tumbuh. Dia tidak lagi mengekpresikan luapan emosinya dengan menangis. Dia sudah mulai bisa tersenyum, tertawa, bahkan merajut-mengumpat.
Setelah mulai dewasa di mana kognisi mulai menguasai kehidupannya, ditandai dengan rasa ingin tahu yang mendalam, dia mulai berpikir dan mempertanyakan segalanya secara rasional. Namun dalam kondisi tertentu emosinya masih tetap memberikan warna dalam kehidupannya. Inilah, menurut saya, apa yang terjadi pada beberapa lembaran Catatan Kentingan. Sebuah respon kognisi dan emosi yang menyatu dalam derap kejolak jiwa dan pikiran.
Secara sederhana, dua inilah: kognisi dan emosi, yang menjadi perespon dalam kehidupan manusia. Yang pertama, kognisi, yang merasionalisasi bentuk-bentuk rangsangan, yang menekankan pada cita rasa analitik terhadap setiap persoalan. Kognisi akan mempertanyakan sesuatu berdasarkan kepantasan menurut akal sehat (common sense). Dia akan memberontak terhadap realitas yang tidak rasional. Sebagai hakim dalam hukum rasionalitas adalah pengetahuan, ilmu dan nalar atas realitas.
Pada tahap ini, orang yang memiliki gudang “penuh” dengan pengetahuan, ilmu dan nalar, akan merespon lebih cepat dari pada orang yang minim kepekaan kognisi (masih dapat diperdebatkan!). Dalam kasus Catatan Kentingan, bisa ditebak siapa yang paling pertama memberikan respon terhadap masalah originalitas lembaga yang bernama PERS (nama dan fakultas, saya kira, tidak perlu disebut). Persma dalam pandangan orang ini dan dalam banyak benak kita adalah suatu entitas atau lembaga yang banyak berkecimpung dengan dunia terbitan atau tulis menulis. Maka dalam halaman berikutnya, dengan penulis yang sama, tertera:
“Suka menulis
Hobi menulis
Bisa menulis (dech)
Akhirnya hidup menulis.” (18.00 WIB, 25/04/07)
Ah, apa iya orang-orang LPM itu suka menulis yang pada akhirnya berani hidup dalam “dunia kata” (sorri minjem bahasanya Fauzil Adhim dalam bukunya yang berjudul Dunia Kata). Tapi kayaknya lebih enak hidup di “Dunia Kapur”nya Rudy aja kale, dalam acara TV Global. Biar bisa mencoret-coret sampai mencret setiap dinding: dinding pikiran kita, dinding emosi kita, dan dinding hati kita, tanpa perlu bersakit hati dan disakithatiin. USUL bagaimana kalau LPM Kentingan kita ganti menjadi LEMBAGA PENULIS MAHASISWA Kentingan. Setuju? Gitu aja ko’ repot. Kok melenceng begini, ntar diemosiin lagi. Ya, maaf. Kembali ke laptop! Keliru, computer, deng.
Dua Krisis
Di sini terlihat sebuah krisis, setidaknya dua: perencanaan dan implementasi. Pertama, krisis perencanaan yang sudah menjadi rahasia pengurus. Maksud dari rahasia pengurus adalah sedari awal kepengurusan seakan ditekankan bahwa program kerja setiap bidang Cuma milik pengurus itu saja, terutama dalam perencanaan, tanpa melibatkan anggota, sekali lagi tanpa melibatkan anggota. Hal ini terlihat dalam rapat proker (program kerja) pengurus dimana anggota tidak ada sama sekali. Sehingga timbul pertanyaan, apa iya pengurus bisa melakukannya tanpa anggota. Padahal dalam banyak kasus, permasalahan bukan saja dalam tataran praksis namun lebih pada kesamaan pemikiran dan persepsi. Bukan tidak mungkin anggota akan membantah program kerja pengurus jika menurut mereka program kerja itu tidak laik untuk dikerjakan dengan berbagai argumentasi. Bukankah kita akan melaksanakan sesuatu dengan harmonis jika kita punya landasan dasar yang sama?
Dan hal ini bisa terlihat dalam beberapa perdebatan tentang acara Solo Membaca 2007 di mana ada sebagian anggota yang tidak setuju. Ada juga yang setuju pada tahap awal namun setelah dalam proses dia (mereka) tidak diketahui ke mana rimbanya. Di sini perlu adanya kesamaan pemikiran dan konsepsi-persepsi yang ditunjang oleh komitmen mendalam sebagai motor penggerak jiwa.
Krisis perencanaan sebenarnya bisa dengan mudah diselesaikan dengan “TRI KOMANDO.” Pertama orang-orang lama yang sudah banyak memakan asam garam dunia Kentingan dan Persma, dan tentu saja yang masih ada dan bisa diajak mikir bareng (tapi dimana kepedulianmu, wahai orang-orang berasam garam?). Kedua pengurus yang menjadi pemegang otoritas pelaksanaan. Dan ketiga adalah para anggota yang menjadi kekuatan kedua dalam gerak kerja lembaga ini. Mereka ini seharusnya bergabung dalam proses perencanaan.
Kedua, krisis implementasi yang sangat gamblang terlihat dalam hampir setiap kegiatan, dari awal kepengurusan sampai detik ini dan dari historitas LPM Kentingan sedari tempo doeloe. Sampai sekarang belum ditemukan vaksin pencegah krisis implementasi ini. Jika ada kegiatan, yang menjadi pekerja lapangan, ya itu itu terus.
Mengenai masalah yang terakhir ini, jadi ingat tentang produk ‘utama’ kita :MAJALAH KENTINGAN. Majalah Kentingan dan juga bulletin Civitas, kalau aku lihat, sudah terjerat oleh dua rantai setan tadi: krisis perencanaan dan krisis implementasi. Akankah nasib majalah Kentingan akan sama dengan yang lainnya? Jawabanya sederhana saja; jika dua rantai setan ini tidak segera diputus, bisa dipastikan akan bernasib tragis. Tidak akan pernah terbit dan untuk itu kita perlu mereformasi ulang Kentingan menjadi LEMBAGA PENERBITAN MAHASISWA KENTINGAN!
Krisis implementasi biasanya berawal dari krisis perencanaan. Dan didukung oleh banyak hal; mulai dari kapasitas keilmuan yang krisis, financial, kesolidan pengurus-anggota dan tentu saja komitmen. Anda boleh menambah daftar krisis dan penyebabnya kalau mau.
Ujung-ujungnya, respon kita pada KENTINGANISME, paham dan semangat tentang ke-Kentingan, atau yang bertujuan untuk mencapai dan memelihara suatu pemerintahan sendiri (dalam hal ini eksistensi Kentingan dengan visi-misinya; jiwa nasionalisme terhadap ke-Kentingan kita), akan terus dipertanyakan dan diperdebatkan, sekali lagi dipertanyakan tentang ke-PERS-annya.
Dan saat itu datang menghampiri, maka ia membuat otak kiri saya, semoga Anda tidak, berkecamuk. Otak kiriku sering dan sangat sering bertanya, berpikir analitis; terkadang pertanyaan kita sama, dan sering juga berbeda. Di sisi sebelah kanan (otak kanan) yang banyak dikuasai oleh emosi jiwa, meronta dan merintih. Saat ronta-rintihan itu memuncak pada titik klimaks, maka saat itu sering agak ‘stress’ (segala sesuatunya terjadi tanpa terasa), tapi stress sungguhan pernah juga. Perlu di ruwat mungkin, sori perlu di-SWOT. Mau?
Saat keduanya mengepung diri, maka dunia ini begitu “asing…terasa asing. Tempat yang telah lama aku diami…yang tlah lama ada di hatiku…sekarang bagaikan sesuatu yang baru… yang lain dan aneh…mungkin terlalu lama aku berdiam diri…udah terlalu lama dan jauh aku lari…lari yang tidak tahu kemana arah dan tujuan. Semakin aku berlari, semakin aku kehilangan arah. Semakin kencang lariku… kakiku semakin sakit.” Semoga Anda tidak pernah, saya doakan. Amin
☺☺☺